A. Pengantar
Tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat yaitu
Pertama, kekaguman atau keheranan. Timbulnya filsafat karena manusia merasa
kagum, heran dan takjub terhadap gejala yang dihadapi. Kedua, keraguan atau
kegengsian. Rasa heran dan meragukan mendorong manusia unktuk berfikir lebih
mendalam, menyeluruh, dan ritis untuk memperoleh kepastian dan kebenaran yang
hakiki. Ketiga, kesadaran akan keterbatasan. Berfilsafat dapat pula bermula
dari adanya suatu kesadaran akan keterbatasan pada diri manusia.
Berfilsafat kadang-kadang dimulai apabila manusia
menyadari bahwa dirinya sangat kecil dan lemah terutama di dalam menghadapi
kejadian-kejadian alam. Apaila seseorang merasa bahwa ia sangat terbatas dan
terikat terutama pada waktu mengalami penderitaan ataun kegagalan, maka dengan
adanya kesadaran akan keterbatasan dirinya tadi manusia mulai berfilsafat.
Pada tahap awalnya kekaguman, keheranan dan ketakjuban
itu terarah pada gejala-gejala alam misalnya gempa bumi, gerhana matahari,
banjir, dan pelangi. Orang yang heran berarti ada sesuatu yang tidak
diketahuinya, atau dia menghadapi persoalan. Problem inilah yang ingin
dipecahkan oleh para filsuf sehingga diperoleh jawaban. Dari mana jawaban
diperoleh? Kalau jaman sekarang jawaban lebih mudah diperoleh misalnya dari
orang lain, membaca buku, atau mendengarkan ceramah. Pada waktu itu yaitu awal
dari munculnya filsafat, banyak orang yang tidak mengetahui, maka untuk
memperoleh jawaban dilakukan dengan mengadakan refleksi (berpikir tentang
pikirannya sendiri) yaitu bertanya pada dirinya sendiri, dipikirkan sendiri dan
dijawab sendiri. Dalam hal ini tidak semua problem itu mesti problem filsafat.
Ada problem sehari-hari, problem ilmiah, problem filsafat dan problem agama.
Problem filsafat berbeda dengan problem yang bukan filsafat terutama yang
menyangkut materi dan cakupannya.
A. Ciri-ciri
Persoalan Filsafat
Pesoalan filsafat berbeda dengan persoalan
non-filsafat. Perbedaannya terletak pada materi dan ruang lingkupnya.
Ciri
persoalan filsafat adalah;
1.
Bersifat sangat umum
Artinya persoalan kefilsafatan tidak bersangkutan
dengan objek khusus tetapi berkaitan dengan ide-ide besar.
2.
Tidak menyangkut fakta
Artinya lebih bersifat spekulatif. Contohnya ilmuwan
memikirkan peristiwa alam yang berupa hujan, tetapi dalam filsafat akan
memikirkan kekuatan atau tenaga apa yang dapat menimbulkan hujan atau apakah
tenaga atau kekuatan itu berwujud materi atau bukan materi. Pemikiran inilah
yang bersifat spekulatif.
3.
Bersangkutan dengan nilai-nilai
Pertanyaan filsafat berkaitan dengan hakikat
nilai-nilai. Misalnya pertanyaan “Apakah Tuhan itu?”
4.
Bersifat kritis
Artinya filasafat merupakan analisis secara kritis
terhadap konsep-konsep dan arti-arti yang biasanya diterima begitu saja oleh
suatu ilmu tanpa pemeriksaan secara kritis. Salah satu tugas filsafat adalah
memeriksa dan menilai asumsi-asumsi tersebut.
5.
Bersifat sinoptik
Artinya persoalan filsafat mencakup struktur kenyataan
secara keseluruhan.
6.
Bersifat imflikatif
Artinya jika persoalan kefilsafatan sudah di jawab
maka akan memunculkan persoalan baru yang saling berhubungan. Jawabannya
mengandung akibat lebih jauh yang menyentuh kepentingan-kepentingan manusia.
B. Persoalan Kefilsafatan Tidak Menyangkut Fakta
Persoalan filsafat yang dihadapi manusia melampaui
batas pengetahuan sehari-hari bahkan melampaui batas pengetahuan ilmiah.
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang bersifat empiris atau pengetahuan
yang menyangkut fakta atau kenyataan yang dapat diindera. Pengetahuan fakta
adalah pengetahuan yang dapat diukur, dihitung atau ditimbang yang dinyatakan
dalam bentuk angka-angka atau bersifat kuantitatif. Memang ada fakta tentang
filsafat, misalnya Plato menulis buku “Republik”’, dan Immanuel Kant meninggal tahun
1804. Bila seseorang menanyakan tentang “Apa filsafat anda?”, berarti
jawabannya bukanlah definisi-definisi atau fakta-fakta historis yang diketahui
atau informasi khusus yang dimiliki melainkan mencoba menyatakan makna tentang
apa yang diketahui dan dipunyai.
Misalnya seorang ilmuwan memikirkan salah satu dari
beberapa kejadian alam yang disebut “hujan”. Ilmuwan dapat memikirkan
sebab-sebab terjadinya hujan dan memberikan deskripsi tentang kejadian itu.
Dalam suatu kawasan ilmuwan dapat meramal daerah-daerah mana yang terkena hujan
yang tinggi rendahnya hujan dapat dinyatakan dalam bentuk ukuran yang besifat
kuantitatif. Namun ilmuwan tidak mempersoalkan maksud dan tujuan hujan, karena
hal itu di luar batas kewenangan ilmiah. Ia tidak menanyakan apakah ada
“kekuatan” atau “tenaga” yang mampu menimbulkan hujan. Ilmuwan tidak memikirkan
apakah kekuatan atau tenaga yang menimbulkan hujan itu berwujud materi atau
bukan-materi. Pemikiran tentang “maksud”, “tujuan” dan “kekuatan” itu bersifat
spekulatif, artinya melampaui batas-batas pengetahuan ilmiah.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para filsuf
melampaui batas-batas pengetahuan yang telah mapan (established), artinya para
filsuf itu berusaha untuk menduga kemungkinan yang akan terjadi. Para filsuf telah
memberikan sumbangan yang penting dengan membuat terkaan-terkaan yang cerdik
(intelligent guess) tentang hal-hal yang tidak tercakup dalam pengetahuan yang
sekarang dimiliki masyarakat. Misalnya tentang ‘kematian”, “kebahagiaan”,
“masyarakat adil makmur”, “manusia seutuhnya”, “civil society”. Dalam sejarah
filsafat Yunani dicatat bahwa Democritos (460-370 SM) menyatakan jauh sebelum
bukti-bukti ilmiah kemudian membuktikan adanya atom-atom. Demikian pula
Empedocles (w. 433 SM) mengajukan teori tentang evolusi jauh sebelum para
ilmuwan biologi menarik kesimpulan yang sama tentang teori itu. Banyak
temuan-temuan ilmiah dalam bidang psikologi dan sosiologi yang memperkuat
teori-teori filsafat yang telah dikemukakan sebelumnya oleh para filsuf. Namun
tidak dapat diingkari bahwa para filsuf telah mengajukan banyak sekali terkaan
namun kemudian ditolak oleh fakta-fakta yang dikemukakan oleh para ilmuwan.
Para filsuf merenungkan apa hakikat kenyataan sampai
melampaui batas-batas pengetahuan ilmiah yang bersifat empiris.
Pertanyaan-pertanyaan apakah Tuhan itu ada atau tidak, apakah ada nilai-nilai
yang terdalam, apakah ada tujuan terakhir dari semua yang ada.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tidak ditujukan pada seorang ilmuwan, akan
tetapi ditujukan pada seorang filsuf. Pertanyaan kefilsafatan bukanlah
pertanyaan yang menyangkut fakta yang mungkin ilmuwan dapat menjawabnya.
Pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan menanyakan nilai-nilai dan makna-makna dan
bahkan mencakup nilai dan maka itu sendiri. Jawaban atas pertanyaan
kefilsafatan menuntut perenungan secara imajinatif, dan kesiapan untuk
melampaui fakta-fakta dengan maksud dapat merumuskan beberapa hipotesis yang
lebih dapat dipahami daripada semata-mata meninjau secara ilmiah.
C. Persoalan Kefilsafatan Berkaitan dengan Nilai-nilai
Persoalan-persoalan kefilsafatan bertalian dengan
keputusan-keputusan tentang pernilaian moral, estetis, agama dan sosial.
Filsafat merupakan kegiatan untuk mencari kebijaksanaan atau kearifan (wisdom),
jadi bukan mencari informasi tentang fakta-fakta. Yang dimaksud dengan wisdom
adalah suatu sikap menilai dan menimbang-nimbang sejumlah tindakan dengan
memberikan penafsiran yang masuk akal.
Nilai (value) adalah keberhargaan atau keunggulan pada
sesuatu hal yang menjadi objek dari keinginan manusia yang didambakan,
diperjuangkan dan dipertahankan. Dengan adanya nilai-nilai yang ada dalam
kehidupan manusia, maka manusia merasa senang, merasa puas atau merasa bahagia.
Nilai-nilai bersangkutan dengan pemahaman dan penghayatan manusia. Para filsuf
mendiskusikan pertanyaan tentang nilai-nilai yang terdalam (ultimate values).
Kebanyakan pertanyaan kefilsafatan berkaitan dengan hakikat nilai-nilai.
Hasil-hasil pemikiran manusia tentang alam, kedudukan manusia dalam alam,
sesuatu yang dicita-citakan manusia, semuanya itu secara tersirat mengandung
nilai-nilai. Misalnya pertanyaan “apakah Tuhan itu? Jawaban yang diberikan
berupa norma-norma yang digunakan dalam menilai tindakan dan memberi bimbingan
dalam mengadakan pilihan atas perbuatan yang akan dilakukan.
Ada perbedaan antara filsafat dan ilmu dalam kaitannya
dengan masalah nilai-nilai. Ilmu pengetahuan menjawab pertanyaan-pertanyaan
tentang fakta-fakta yang bersifat kuantitatif. Ilmu pengetahuan tidak
memberikan jawaban tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang ilmuwan.
Apabila seorang ilmuwan diajukan pertanyaan tentang hydrogin cyanide dan
penicilin, maka mereka akan menjawab bahwa hydrogin cyanide adalah racun yang
baik, sedangkan penicilin adalah zat pembunuh kuman. Jawaban ilmuwan hanya
berupa fakta-fakta. Dalam hal ini ilmuwan tidak memberikan jawaban atas
pertanyaan apakah euthanasia atau mematikan (bukan membunuh) pasien karena
belas kasihan (mercy killing) dapat dibenarkan secara moral ataukah tidak.
Hanya mengandalkan ilmu saja, para ilmuwan tidak mengetahui apa yang seharusnya
dilakukan terhadap penicilin dan hydrogin cyanide.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar